Selasa, 22 Juli 2008

N11


Keluar Dari DI/TII Ingin Tarbiyah

Pertanyaan:

Assalamu'alaikum wr.wb.
Alhamdulillah , Wa sholatu wa salamu 'ala Rasulillah
Ustadz , saya pernah bergabung dengan kelompok yang menyebut diri sebagai penerus DI / TII . Namun setelah saya ikuti , ternyata banyak penyimpangannya ; antara lain : gemar mengkafirkan orang diluar kelompok , menikah yang sah hanya didepan pimpinan , mencuri atas nama fa'i dsb. Namun waktu itu saya percaya bahwa itu hanya issue-issue belaka dan hanya beberapa kelompok kecil yang melakukannya .Pada akhirnya saya sadar betapa rancu manhaj perjuangan yang mereka terapkan . Dan saya sudah menyatakan diri keluar , baik lisan maupun dengan surat yang saya tujukan pada orang yang dianggap pimpinan saya . Baru-baru ini , saya ditanya tentang madah pembinaan Lembaga Kerasulan yang ternyata sarat dengan pemikiran sesat Isa Bugis . Akhirnya setelah sekian lama saya keluar dan aktif di PKS walau belum nyambung tarbiyahnya ( hal mana saya sangat menginkannya ) , saya terhenyak ; betapa mereka yang mengatasnamakan DI/TII , LK . NII KW IX dsb itu terus saja bergerak dengan pemikiran menyimpangnya . Mohon Ustadz beri taushiyah pada saya tentang bagaimana hukum bai'at yang pernah saya lakukan dengan mereka ? Dan bagaimana saya bisa mendapaykan pembinaan dari Ustadz-ustadz Tarbiyah ?
Jazzakalloh , was salamu'alaikum wr.wb.

Abu Yahya


Jawaban:

Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh
Alhamdulillah, Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa ba?d.

1. Beragama Dengan Sepenuh Argumen Yang Benar

Seorang muslim seharusnya beragama bukan dengan jalan taqlid melainkan dengan wa?yu. Maksudnya dengan kesadaran, wawasan dan pemahaman yang benar dan bisa dipertanggung-jawabkan kepada publik.

Aktifitas sebuah kelompok, apapun namanya, bila terlalu mudah mengkafrikan orang Islam, tidak mengesahkan pernikahan bila tidak di depan pemimpin, menghalalkan pencurian atas nama fai` dan sejenisnya tentu merupakan hal yang bertentangan dengan syariat Islam.

Kitab-kitab fiqih manapun tidak akan pernah membenarkan tindakan demikian. Begitu juga para ulama yang shalih di muka bumi ini tentu juga tidak akan membenarkannya juga. Sebab semua tindakan itu memang betentangan langsung dengan Al-Quran Al-Kariem, As-Sunah An-Nabawiyah dan juga apa yang telah dipegang oleh jumhurul muslimin selama ini.

2. Membatalkan Bai`at Yang Terlanjur Diucapkan

Seseorang yang pernah bersumpah namun tidak mampu menjalankan sumpahnya, tentu harus membayar kaffarat atas sumpahnya itu. Sebagaiman firman Allah Subhanahu Wata`ala :



Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud , tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah . Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur. (QS. Al-Maidah : 89 )


Namun bila isi sumpahnya adalah hal-hal yang mungkar atau bertabrakan dengan syariat Allah Subhanahu Wata`ala, sebenarnya sama sekali tidak perlu dilakukan, sebab sumpah itu sudah batal dengan sendirinya.

Sebab hukumnya menjadi haram untuk dilaksanakan. Misalnya seseorang bersumpah untuk berzina, minum khamar, mencuri, membunuh atau melakukan kemaksiatan lainnya, maka janji itu adalah janji yang mungkar. Haram hukumnya bagi seorang muslim untuk melaksanakan janjinya itu. Meski pun ketika berusumpah, dia mengucapkan nama Allah SWT. Sebab janji untuk melakukan kemungkaran itu hukumnya batal dengan sendirinya.

Dalam kasus tertentu, bila seseorang dipaksa untuk berjanji melakukan sesuatu yang bertentangan dengan syariat Islam, tidak ada kewajiban sama sekali baginya untuk menunaikannya. Misalnya, seorang prajurit muslim dan disiksa oleh lawan. Lalu sebagai syarat pembebasan hukumannya, dia dipaksa berjanji untuk tidak shalat atau mengerjakan perintah agama. Maka bila siksaan itu terasa berat baginya, dia diberi keringanan untuk menyatakan janji itu, namun begitu lepas dari musuh, dia sama sekali tidak punya kewajiban untuk melaksanakan janjinya itu. Sebab janji itu dengan sendirinya sudah gugur.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam

Tidak ada komentar: