Senin, 25 Februari 2008

MENGENAL SYARI'AH


Asww. Apakah Syari'ah Islam itu?
Arti Syariat
Syari’at bisa disebut syir’ah. Artinya secara bahasa adalah sumber air mengalir yang didatangi manusia atau binatang untuk minum. Perkataan “syara’a fiil maa’i” artinya datang ke sumber air mengalir atau datang pada syari’ah.
Kemudian kata tersebut digunakan untuk pengertian hukum-hukum Allah yang diturunkan untuk manusia.
Kata “syara’a” berarti memakai syari’at. Juga kata “syara’a” atau “istara’a” berarti membentuk syari’at atau hukum. Dalam hal ini Allah berfirman, “Untuk setiap umat di antara kamu (umat Nabi Muhammad dan umat-umat sebelumnya) Kami jadikan peraturan (syari’at) dan jalan yang terang.” [QS. Al-Maidah (5): 48]
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) tentang urusan itu (agama), maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang yang tidak mengetahui.” [QS. Al-Maidah (5): 18].
“Allah telah mensyari’atkan (mengatur) bagi kamu tentang agama sebagaimana apa yang telah diwariskan kepada Nuh.” [QS. Asy-Syuuraa (42): 13].
Sedangkan arti syari’at menurut istilah adalah “maa anzalahullahu li ‘ibaadihi minal ahkaami ‘alaa lisaani rusulihil kiraami liyukhrijan naasa min dayaajiirizh zhalaami ilan nuril bi idznihi wa yahdiyahum ilash shiraathil mustaqiimi.” Artinya, hukum-hukum (peraturan) yang diturunkan Allah swt. melalui rasul-rasulNya yang mulia, untuk manusia, agar mereka keluar dari kegelapan ke dalam terang, dan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus.
Jika ditambah kata “Islam” di belakangnya, sehingga menjadi frase Syari’at Islam (asy-syari’atul islaamiyatu), istilah bentukan ini berarti, ” maa anzalahullahu li ‘ibaadihi minal ahkaami ‘alaa lisaani sayyidinaa muhammadin ‘alaihi afdhalush shalaati was salaami sawaa-un akaana bil qur-ani am bisunnati rasuulillahi min qaulin au fi’lin au taqriirin.” Maksudnya, syari’at Islam adalah hukum-hukum peraturan-peraturan) yang diturunkan Allah swt. untuk umat manusia melalui Nabi Muhammad saw. baik berupa Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi yang berwujud perkataan, perbuatan, dan ketetapan, atau pengesahan.
Terkadang syari’ah Islam juga dimaksudkan untuk pengertian Fiqh Islam. Jadi, maknanya umum, tetapi maksudnya untuk suatu pengertian khusus. Ithlaaqul ‘aammi wa yuraadubihil khaashsh (disebut umum padahal dimaksudkan khusus).
Pembagian Syari’at IslamHukum yang diturunkan melalui Nabi Muhammad saw. untuk segenap manusia dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Ilmu Tauhid, yaitu hukum atau peraturan-peraturan yang berhubungan dengan dasar-dasar keyakinan agama Islam, yang tidak boleh diragukan dan harus benar-benar menjadi keimanan kita. Misalnya, peraturan yang berhubungan dengan Dzat dan Sifat Allah swt. yang harus iman kepada-Nya, iman kepada rasul-rasul-Nya, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan iman kepada hari akhir termasuk di dalamnya kenikmatan dan siksa, serta iman kepada qadar baik dan buruk. Ilmu tauhid ini dinamakan juga Ilmi Aqidah atau Ilmu Kalam.
2. Ilmu Akhlak, yaitu peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pendidikan dan penyempurnaan jiwa. Misalnya, segala peraturan yang mengarah pada perlindungan keutamaan dan mencegah kejelekan-kejelekan, seperti kita harus berbuat benar, harus memenuhi janji, harus amanah, dan dilarang berdusta dan berkhianat.
3. Ilmu Fiqh, yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan hubungan manusia dengan sesamanya. Ilmu Fiqh mengandung dua bagian: pertama, ibadah, yaitu yang menjelaskan tentang hukum-hukum hubungan manusia dengan Tuhannya. Dan ibadah tidak sah (tidak diterima) kecuali disertai dengan niat. Contoh ibadah misalnya shalat, zakat, puasa, dan haji. Kedua, muamalat, yaitu bagian yang menjelaskan tentang hukum-hukum hubungan antara manusia dengan sesamanya. Ilmu Fiqh dapat juga disebut Qanun (undang-undang).
Definisi Fiqh Islam
Fiqh menurut bahasa adalah tahu atau paham sesuatu. Hal ini seperti yang bermaktub dalam surat An-Nisa (4) ayat 78, “Maka mengapa orang-orang itu (munafikin) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan (pelajaran dan nasihat yang diberikan).”
Nabi Muhammad saw. bersabda, “Barangsiapa dikehendaki Allah kebaikan, maka Allah akan memahamkannya di dalam perkara agama.”
Kata Faqiih adalah sebutan untuk seseorang yang mengetahui hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, hukum-hukum tersebut diambil dari dalil-dalilnya secara terperinci.
Fiqh Islam menurut istilah adalah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum Allah atas perbuatan orang-orang mukallaf, hukum itu wajib atau haram dan sebagainya. Tujuannya supaya dapat dibedakan antara wajib, haram, atau boleh dikerjakan.
Ilmu Fiqh adalah diambil dengan jalan ijtihad. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menulis, Fiqh adalah pengetahuan tentang hukum-hukum Allah, di dalam perbuatan-perbuatan orang mukallaf (yang dibebani hukum) seperti wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah. Hukum-hukum itu diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah serta dari sumber-sumber dalil lain yang ditetapkan Allah swt. Apabila hukum-hukum tersebut dikeluarkan dari dali-dalil tersebut, maka disebut Fiqh.
Para ulama salaf (terdahulu) dalam mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil di atas hasilnya berbeda satu sama lain. Perbedaan ini adalah suatu keharusan. Sebab, pada umumnya dalil-dalil adalah dari nash (teks dasar) berbahasa Arab yang lafazh-lafazhnya (kata-katanya) menunjukkan kepada arti yang diperselisihkan di antara mereka.
Fiqh Islam terbagi menjadi enam bagian:1. Bagian Ibadah, yaitu suatu bagian yang membicarakan hukum-hukum yang dipakai untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. dan untuk mengagungkan kebesaran-Nya, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji.2. Bagian Ahwal Syakhshiyah (al-ahwaalu asy-syakhsyiyyatu), yaitu suatu bagian yang membicarakan hukum-hukum yang berhubungan dengan pembentukan dan pengaturan keluarga dan segala akibat-akibatnya, seperti perkawinan, mahar, nafkah, perceraian (talak-rujuk), iddah, hadhanah (pemeliharaan anak), radha’ah (menyusui), warisan, dan lain-lain. Oleh kebanyakan para mujtahidin, bagian kedua ini dimasukkan ke dalam bagian mu’amalah.3. Bagian Mu’amalah (hukum perdata), yaitu suatu bagian yang membicarakan hukum-hukum yang mengatur harta benda hak milik, akad (kontrak atau perjanjian), kerjasama sesama orang seperti jual-beli, sewa menyewa (ijarah), gadai (rahan), perkonsian (syirkah), dan lain-lain yang mengatur urusan harga benda seseorang, kelompok, dan segala sangkut-pautnya seperti hak dan kekuasaan.4. Bagian Hudud dan Ta’zir (hukum pidana), yaitu bagian yang membicarakan hukum-hukum yang berhubungan dengan kejahatan, pelanggaran, dan akibat-akibat hukumnya.5. Bagian Murafa’at (hukum acara), yaitu bagian yang membicarakan hukum-hukum yang mengatur cara mengajukan perkara, perselisihan, penuntutan, dan cara-cara penetapkan suatu tuntutan yang dapat diterima, dan cara-cara yang dapat melindungi hak-hak seseorang.6. Bagian Sirra wa Maghazi (hukum perang), yaitu bagian yang membicarakan hukum-hukum yang mengatur peperangan antar bangsa, mengatur perdamaian, piagam perjanjian, dokumen-dokumen dan hubungan-hubungan umat Islam dengan umat bukan Islam.
Jadi, Fiqh Islam adalah konsepsi-konsepsi yang diperlukan oleh umat Islam untuk mengatur kepentingan hidup mereka dalam segala segi, memberikan dasar-dasar terhadap tata administrasi, perdagangan, politik, dan peradaban. Artinya, Islam memang bukan hanya akidah keagamaan semata-mata, tapi akidah dan syariat, agama dan negara, yang berlaku sepanjang masa dan sembarang tempat.
Dalam Al-Qur’an ada 140 ayat yang secara khusus memuat hukum-hukum tentang ibadah, 70 ayat tentang ahwal syakhshiyah, 70 ayat tentang muamalah, 30 ayat tentang uqubah (hukuman), dan 20 ayat tentang murafa’at. Juga ada ayat-ayat yang membahas hubungan politik antara negara Islam dengan yang bukan Islam. Selain Al-Qur’an, keenam tema hukum tersebut di atas juga diterangkan lewat hadits-hadits Nabi. Sebagian hadits menguatkan peraturan-peraturan yang ada dalam ayat-ayat Al-Qur’an, sebagian ada yang memerinci karena Al-Qur’an hanya menyebutkan secara global, dan sebagian lagi menyebutkan suatu hukum yang tidak disebutkan dala mAl-Qur’an. Maka, fungsi hadits adalah sebagai keterangan dan penjelasan terhadap nash-nash (teks) Al-Qur’an yang dapat memenuhi kebutuhan (kepastian hukun) kaum muslimin.
Hukum Syara’
Hukum syara’ adalah “maa tsabata bi khithaabillahil muwajjahi ilaal ‘ibaadi ‘alaa sabiilith thalabi awit takhyiiri awil wadh’i”. Maksudnya, sesuatu yang telah ditetapkan oleh titah Allah yang ditujukan kepada manusia, yang penetapannya dengan cara tuntutan (thalab), bukan pilihan (takhyir), atau wadha’.
Contoh hukum syara’, perintah langsung Allah swt., “Tegakkahlah shalat dan berikanlah zakat!” [QS. Al-Muzzamil (73): 20]. Ayat ini menetapkan suatu tuntutan berbuat, dengan cara tuntutan keharusan yang menunjukkan hukum wajib melakukan shalat dan zakat.
Firman Allah swt., “Dan janganlah kamu mendekati zina!” [QS. Al-Isra’ (17): 32]. Ayat ini menetapkan suatu tuntutan meninggalkan, dengan cara keharusan yang menunjukkan hukum haram berbuat zina.
Firman Allah swt., “Dan apabila kamu telah bertahallul (bercukur), maka berburulah.” [QS. Al-Maidah (5): 2]. Ayat ini menunjukkan suatu hukum syara’ boleh berburu sesudah tahallul (lepas dari ihram dalam haji). Orang mukallaf boleh memilih antara berbuat berburu atau tidak.
Yang dimaksud dengan wadha’ adalah sesuatu yang diletakkan menjadi sebab atau menjadi syarat, atau menjadi pencegah terhadap yang lain. Misalnya, perintah Allah swt. “Pencuri lelaki dan wanita, potonglah tangan keduanya.” [QS. Al-Maidah (5): 38]. Ayat ini menunjukkan bahwa pencurian adalah dijadikan sebab terhadap hukum potong tangan.
Bersabda Rasulullah saw., “Allah swt. tidak menerima shalat yang tidak dengan bersuci.” Hadits ini menunjukkan bahwa bersuci adalah dijadikan syarat untuk shalat.
Contoh yang lain, sabda Rasulullah saw., “Pembunuh tidak bisa mewarisi sesuatu.” Hadits ini menunjukkan bahwa pembunuhan adalah pencegah seorang pembunuh mewarisi harta benda si terbunuh.
Dari keterangan-keterangan di atas, kita paham bahwa hukum syara’ dibagi menjadi dua, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Hukum taklifi adalah sesuatu yang menunjukkan tuntutan untuk berbuat, atau tuntutan untuk meninggalkan, atau boleh pilih antara berbuat dan meninggalkan.
Contoh hukum yang menunjukkan tuntutan untuk berbuat: “Ambilah sedekah dari sebagian harta mereka!” [QS. At-Taubah (9): 103], “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.” [QS. Al-Imran (3): 97].
Contoh hukum yang menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan: “Janganlah di antara kamu mengolok-olok kaum yang lain.” [QS. Al-Hujurat (49): 11], “Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, dan daging babi.” [QS. Al-Maidah (5): 3].
Contoh hukum yang menunjukkan boleh pilih (mudah): “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi.” [QS. Al-Jumu’ah (62): 10], “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat.” [QS. An-Nisa’ (4): 101].
Hukum wadh’i adalah yang menunjukkan bahwa sesutu telah dijadikan sebab, syarat, dan mani’ (pencegah) untuk suatu perkara.
Contoh sebab: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku-siku.” [QS. Al-Maidah (5): 6]. Kehendak melakukan shalat adalah yang menjadikan sebab diwajibkannya wudhu.
Contoh syarat: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.” [QS. Ali Imran (3): 97]. Kemampuan adalah menjadi syarat diwajibkannya haji.
Contoh mani’ (pencegah): Rasulullah saw. bersabda, “Pena diangkat (tidak ditulis dosa) dari tiga orang, yaitu dari orang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai ia dewasa, dan dari orang gila sampai ia sembuh (berakal).” Hadits ini menunjukkan bahwa gila adalah pencegah terhadap pembebanan suatu hukum dan menjadi pencegah terhadap perbuatan yang sah.
Hukum taklifi terbagi menjadi dua, yaitu azimah dan rukhshah. Azimah adalah suatu hukum asal yang tidak pernah berubah karena suatu sebab dan uzur. Seperti shalatnya orang yang ada di rumah, bukan musafir. Sedangkan rukhshah adalah suatu hukum asal yang menjadi berubah karena suatu halangan (uzur). Seperti shalatnya orang musafir.
Azimah meliputi berbagai macam hukum, yaitu:
1. Wajib. Suatu perbuatan yang telah dituntut oleh syara’ (Allah swt.) dengan bentuk tuntutan keharusan. Hukum perbuatan ini harus dikerjakan. Bagi yang mengerjakan mendapat pahala dan bagi yang meninggalkan mendapat siksa. Contohnya, puasa Ramadhan adalah wajib. Sebab, nash yang dipakai untuk menuntut perbuatan ini adalah menunjukkan keharusan. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa.” [QS. Al-Baqarah (2): 183]
2. Haram. Haram adalah sesutu yang telah dituntut oleh syara’ (Allah swt.) untuk ditinggalkan dengan bentuk tuntutan keharusan. Hukumnya bila dikerjakan adalah batal dan yang mengerjakannya mendapat siksa. Contohnya, tuntutan meninggalkan berzina, tuntutan meninggalkan makan bangkai, darah, dan daging babi.
3. Mandub (sunnah). Mandub adalah mengutamakan untuk dikerjakan daripada ditinggalkan, tanpa ada keharusan. Yang mengerjakannya mendapat pahala, yang meninggalkannya tidak mendapat siksa, sekalipun ada celaan. Mandub biasa disebut sunnah, baik sunnah muakkadah (yang dikuatkan) atau ghairu (tidak) muakkadah (mustahab).
4. Makruh. Makruh adalah mengutamakan ditinggalkan daripada dikerjakan, dengan tidak ada unsur keharusan. Misalnya, terlarang shalat di tengah jalan. Yang melaksanakannya tidak mendapat dosa sekalipun terkadang mendapat celaan.
5. Mubah. Mubah adalah si mukallaf dibolehkan memilih (oleh Allah swt.) antara mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya, dalam arti salah satu tidak ada yang diutamakan. Misalnya, firman Allah swt. “Dan makan dan minumlah kamu sekalian.” Tegasnya, tidak ada pahala, tidak ada siksa, dan tidak ada celaan atas berbuat atau meninggalkan perbuatan yang dimubahkan.
Apabila Allah swt. menuntut kepada seorang mukallaf untuk melakukan sesuatu perbuatan lalu perbuatan tersebut dikerjakannya sesuai dengan yang dituntut darinya dengan terpenuhi syarat rukunnya, maka perbuatan tersebut disebut shahih. Tetapi apabila salah satu syarat atau rukunnya rusak, maka perbuatan tersebut disebut ghairush shahiih.
Ash-shahiih adalah sesuatu yang apabila dikerjakan mempunyai urutan akibatnya. Contohnya, bisa seorang mukallaf mengerjakan shalat dengan sempurna, terpenuhi syarat rukunnya, maka baginya telah gugur kewajiban dan tanggungannya.
Ghairush-shahiih adalah sesuatu yang dilakukannya tidak mempunya urutan akibat-akibat syara’. Contohnya, seorang mukallaf mengerjakan shalat tidak terpenuhi syarat rukunnya, seperti shalat tanpa rukuk. Kewajiban mukallaf mengerjakan shalat tersebut belum gugur. Demikian pula kalau shalat dikerjakan tidak pada waktunya atau mengerjakannya tanpa wudhu. Perbuatan-perbuatan yang dikerjakan tidak sesuai dengan tuntutan Allah swt. dianggap tidak ada atau tidak mengerjakan apa-apa. Wallahu 'alam bishawab

HUKUM DAN FATWA

Apa Hukum Menikahkan Anak Perempuan kepada Pria yang tiudak Disukai?

فتاوى وأحكام: فتاوى و أحكام
هل للولي تزويج المرأة ممن لا تحب؟
موقع القرضاوي/ 24-2-2008
يصر بعض الآباء على تزويج بناتهم دون مشورتهن، ويرغمونها على الزواج بقوة من رجل لا تريده، وقد يكون
ذلك بغرض مصلحة دنيوية أو لأمور أخرى، فما حكم هذا الزواج الإجباري في الشرع؟ وماذا تفعل الفتاة إذا تم إجبارها على الزواج ممن لا ترغب ؟
يقول الدكتور يوسف القرضاوي في كتابه (مركز المرأة في الحياة الإسلامية):
سُلْطان الأب على ابنته لا يتجاوز حدود التأديب والرعاية والتهذيب الديني والخُلُقي، شأنها شأن إخوانها الذكور، فيأمرها بالصلاة إذا بلغت سبع سنين، ويضربها عليها إذا بلغت عشراً، ويفرِّق حينئذ بينها وبين إخوتها في المضجع، ويلزمها أدب الإسلام في اللِّباس والزينة والخروج والكلام.
ونفقته عليها واجبة ديناً وقضاءً حتى تتزوج، وليس له سُلْطة بيعها أو تمليكها لرجل آخر بحال من الأحوال، فقد أبطل الإسلام بيع الحر ـ ذَكراً كان أو أنثى ـ بكل وجه من الوجوه، ولو أنَّ رجلاً حراً اشترى أو مَلَكَ ابنة له كانت رقيقة عند غيره، فإنها تُعتق عليه بمجرد تملكها، شاء أم أبى، بحكم قانون الإسلام.
وإذا كانت للبنت مال خاص بها، فليس للأب إلا حُسْن القيام بالمعروف .. ولا يجوز له أن يزوِّجها لرجل آخر، على أن يزوِّجه الآخر ابنته، على طريقة التبادل، وهو المسمى في الفقه ب‍ "نكاح الشغار" وذلك لخلو الزواج من المهر الذي هو حق البنت لا حق أبيها.
وليس للأب حق تزويج ابنته البالغة ممن تكرهه ولا ترضاه، وعليه أن يأخذ رأيها فيمن تتزوجه : أتقبله أم ترفضه، فإذا كانت ثيِّباً فلابد أن تعلن موافقتها بصريح العبارة، وإن كانت بِكراً يغلبها حياء العذراء اكتفى بسكوتها، فالسكوت علامة الرضاء، فإن قالت: لا .. فليس له سُلْطة إجبارها على الزواج بمن لا تريد.
روى الشيخان عن أبي هريرة مرفوعا: "لا تُنكح الأيم حتى تُستأمر ولا البِكر حتى تُستأذن" . قالوا: يا رسول الله؛ وكيف إذنها؟ قال: "أن تسكت".
ورويا أيضاً عن عائشة قالت: يا رسول الله ؛ يُستأمر النساء في أبضاعهن ؟ قال : "نعم"، قلت: إنّ البكر تُستأمر فتستحي فتسكت! قال: "سكاتها إذنها"، ولهذا قال العلماء: ينبغي إعلام البِكر بأنَّ سكوتها إذن.

وعن خنساء بنت خدام الأنصارية: "أن أباها زوَّجها وهي ثيِّب فكرهت ذلك، فأتت رسول الله صلى الله عليه وسلم فرَّد نكاحها". رواه الجماعة إلا مسلماً.
وعن ابن عباس : أن جارية بِكراً أتت رسول الله صلى الله عليه وسلم فذكرت أن أباها زوّجها وهي كارهة، فخيَّرها النبي صلى الله عليه وسلم . رواه أحمد وصححه الشيخ شاكر. وفي هذا دليل على أن الأب لا يتميز عن غيره في وجوب استئذان البِكر، وضرورة الحصول على موافقتها . وفي صحيح مسلم وغيره : "والبكر يستأمرها أبوها" أي يطلب أمرها وإذنها.
وعن عائشة: أن فتاة دخلت عليها، فقالت: إنَّ أبي زوَّجني من ابن أخيه، ليرفع بي خسيسته، وأنا كارهة. قالت: اجلسي حتى يأتي النبي صلى الله عليه وسلم، فأخبرته، فأرسل إلى أبيها، فدعاه، فجعل الأمر إليها . فقالت: يا رسول الله، قد أجزتُ ما صنع أبي، ولكن أردتُ أن أعلم: أللنساء من الأمر شيء"؟. رواه النسائي.
وظاهر الأحاديث يدل على أن استئذان البِكر والثِّيب شرط في صحة العقد، فإن زوَّج الأب أو الوليُّ الثِّيب بغير إذنها فالعقد باطل مردود، كما في قصة خنساء بنت خدام .. وفي البِكر : هي صاحبة الخيار إن شاءت أجازت، وإن شاءت أبت، فيبطل العقد كما في قصة الجارية . نيل الأوطار 6/254-256.
ومن جميل ما جاء به الإسلام: أنه أمر باستشارة الأُم في زواج ابنتها، حتى يتم الزواج برضا الأطراف المعنية كلها . فعن ابن عمر أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "آمروا النساء في بناتهن". رواه أحمد وله شواهد أخرى.
وللإمام أبي سليمان الخطابي هنا كلمات قَيِّمة في توجيه هذا الحديث في كتابه "معالم السنن" يحسن بنا أن ننقلها هنا لما فيها من حكمة وعبرة . يقول رحمه الله :
"مؤامرة الأُمهات في بُضْع البنات ليس من أجل أنهن يملكن من عقد النكاح شيئاً، ولكن من جهة استطابة أنفسهن، وحُسْن العِشرة معهن، ولأن ذلك أبقى للصحبة، وأدعى إلى الأُلفة بين البنات وأزواجهن، إذا كان مبدأ العقد برضاء من الأمهات، ورغبة منهن، وإذا كان بخلاف ذلك لم يؤمن تَضْرِيَتُهن أي : (تحريضهن على أزواجهن)، ووقوع الفساد من قِبَلهن، والبنات إلى الأُمهات أميل، ولقولهن أقبل، فمن أجل هذه الأُمور يُستحب مؤامرتهن في العقد على بناتهن، والله أعلم ..قال :"وقد يحتمل أن يكون ذلك لِعلَّة أُخرى، غير ما ذكرناه، وذلك أن المرأة ربما علمت من خاص أمر ابنتها، ومن سِرِّ حديثها أمراً لا يستصلح لها معه عقد النكاح، وذلك مثل العِلَّة تكون بها، والآفة تمنع من إيفاء حقوق النكاح . وعلى نحو هذا يتأول قوله : "ولا تُزوَّج البِكر إلا بإذنها وإذنها سكوتها"، وذلك أنها قد تستحي من أن تُفصح بالإذن، وأن تُظهر الرغبة في النكاح، فيستدل بسكوتها على سلامتها من آفة تمنع الجِماع، أو سبب لا يصلح معه النكاح لا يعلمه غيرها . والله أعلم" أ.ه‍ـ.
ونزيد هنا أن الأُم قد تعلم من أسرار ابنتها أنَّ قلبها مع شخص آخر، فإذا تقدَّم لها هذا الشخص وكان كُفئاً، فهو أَولى بالتقديم والترجيح، كما جاء في الحديث : "لم يُرَ للمتحابين مثل النكاح" . رواه الحاكم وصححه ووافقه الذهبي.

وإذا كان الأب لا يحق له تزويج ابنته ممن لا ترضاه، كان من حقه عليها ألا تُزوِّج نفسها إلا بإذنه لحديث أبي موسى مرفوعاً: "لا نكاح إلا بولي" رواه أبو داود والترمذي، ولحديث عائشة مرفوعاً : "أيما امرأة نكحت بغير إذن مواليها فنكاحها باطل .. ثلاث مرات" . رواه الترمذي وحسنه.
ورأى أبو حنيفة وأصحابه أنَّ من حق الفتاة أن تزوِّج نفسها، ولو بغير إذن أبيها ووليها، بشرط أن يكون الزوج كفئاً لها . ولم يثبت عندهم الحديث المذكور، مستدلين بما جاء في القرآن من نسبة النكاح إلى المرأة : (فَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ) (سورة البقرة/ 232)، (حَتَّى تَنكِحَ زَوْجاً غَيْرهُ) (سورة البقرة/ 230)، وقوله تعالى : (فَلاَ جُناحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلنَ فِي أَنفُسِهنَّ بِالمَعرُوفِ) (سورة البقرة/ 234)، أضاف النكاح في هذه الآيات وغيرها إلى النساء، ونهي عن منعهن منه، ولأنه خالص حق المرأة، وهي من أهل المباشرة، فصح منها، واشترط أبو حنيفة أن يكون زواجها من كفء، وإلا كان للأولياء حق الاعتراض، فإن زوَّجت نفسها بإذن الولي دون حضوره، فقد أجاز ذلك بعض الفقهاء . والجمهور يشترطون حضور الولي، وإلا فإن زواجها يكون باطلاً
قال العلامة ابن قدامة: فإن حكم بصحة هذا العقد حاكم، أو كان المتولي لعقده حاكماً، لم يجز نقضه.
قال: وخرج القاضي في هذا وجهاً خاصة: أنه ينقض، لأنه خالف نصًّا. والأول أولى؛ لأنها مسألة مختلف فيها، ويسوغ فيها الاجتهاد، فلم يجز نقض الحكم له، كما لو حكم بالشفعة للجار . وهذا النص (يعني: "لا نكاح إلا بولي") متأول، وفي صحته كلام، وقد عارضته ظواهر أ.هـ . المغني لابن قدامة .
وهذا من عميق فقه ابن قدامة وإنصافه رضي الله عنه، ومع هذا فالأَوْلى والأوفق: أن يتم الزواج بموافقة جميع الأطراف: الأب، والأُم، والابنة. حتى لا يكون هناك مجال للقيل والقال، والخصومة والشحناء، وقد شرع الله الزواج مجلبة للموَدَّة والرحمة .
والمطلوب من الأب أن يتخيَّر لابنته الرجل الصالح الذي يسعدها ويسعد بها، وأن يكون همه الخُلُق والدين، لا المادة والطين، وألا يعوق زواجها إذا حضر كفؤها، وفي الحديث : "إذا أتاكم مَن ترضون خُلُقه ودينه فزوِّجوه. إلا تفعلوا تكن فتنة في الأرض وفساد عريض" . رواه الترمذي وابن ماجه والحاكم وصححه ووافقه الذهبي .
وبهذا علَّم الإسلام الأب أن ابنته "إنسان" قبل كل شيء، فهي تطلب إنساناً مثلها، وليست "سلعة" تُعرض وتُعطَى لمن يدفع نقوداً أكثر، كما هو شأن كثير من الآباء الجاهلين والطامعين إلى اليوم . وفي الحديث : "إنَّ مِن يُمْن المرأة : تيسير خطبتها، وتيسير صداقها، وتيسير رحمها ـ أي ولادتها" . رواه أحمد والحاكم وصححه على شرط مسلم.

Rabu, 20 Februari 2008

KONSULTASI - KELUARGA


Asww.

Apa hukumnya Isteri Keluar Rumah Tanpa Permisi?

Jawaban:
Assalamu alaikum wr.wb. Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Pada dasarnya seorang isteri harus tinggal di dalam rumah. Allah berfirman, "Hendaknya kalian tinggal di rumah kalian dan jangan bersolek seperti budaya jahiliyah." (al-Ahzab: 33)
Namun demikian, bukan berarti ia tidak boleh keluar dari rumah. Islam membolehkan mereka keluar rumah misalnya pergi ke masjid, mengunjungi orang tua, kerabat, membeli kebutuhannya, serta melakukan berbagai pekerjaan baik lainnya. Hanya saja, untuk keluar dari rumah, syaratnya harus meminta ijin kepada suami.Ibn Hajar al-Asqalani menukil komentar al-Nawawi tentang hadis yang berbunyi, ”Jika isteri kalian meminta ijin untuk pergi ke masjid, berikanlah ijin untuk mereka.” menurutnya hadis ini menjadi dalil bahwa seorang wanita tidak boleh keluar rumah kecuali dengan ijinnya karena di sana ada perintah kepada suami untuk memberikan ijin kepadanya. Ini berlaku setiap kali isteri hendak keluar rumah, kecuali jika sudah bisa dipastikan dan sudah diketahui suaminya ridha. Misalnya wanita yang bekerja sebagai pegawai yang berangkat dan keluar rumah setiap hari. Kalau suaminya sudah ridha, tidak perlu lagi ia meminta ijin setiap hari kepada suaminya.
Kalau kemudian dalam kondisi-kondisi tertentu, sang suami tidak memberikan ijin untuk keluar rumah, maka isteri tidak boleh keluar rumah.
Lalu yang perlu diperhatikan oleh setiap wanita atau isteri yang akan keluar rumah adalah hal-hal sebagai berikut:
1. Ketika keluar rumah, ia harus mengenakan busana yang sesuai syariat.
2. Tidak memakai parfum dan perhiasan yang bisa mengundang fitnah
3. keluar rumah untuk sesuatu yang memang perlu dan penting.
4. Tidak mendekati tempat-tempat yang mendatangkan kemungkaran dan tempat yang mengundang kemaksiatan.
5. Hendaknya berusaha untuk tidak pergi sendirian; tetapi ditemani oleh mahramnya.
Wallahu a’lam bish-shawab. Wassalamu alaikum wr.wb.

Jumat, 15 Februari 2008



Islam mengajarkan menuntut ilmu itu berlangsung seumur hidup. Tidak dikenal batasan waktu dalam mencarinya. Rasulullah mengajarkan, ''Menuntut ilmu hukumnya wajib bagi setiap Muslim.'' (HR Thabrani). Dalam hadis dengan perawi lain, Rasulullah SAW juga menekankan hal yang sama. ''Tuntutlah ilmu dari masa buaian sampai menjelang masuk liang kubur.'' (HR Bukhari).
Wahyu Rasulullah sendiri merupakan uswah pertama dalam menuntut ilmu. Wahyu pertama yang beliau terima adalah perintah untuk menjadi orang berilmu melalui membaca (QS Al-Alaq [96]: 1-5). Alquran dibaca supaya hidup teratur, sejarah dibaca supaya tahu peninggalan para leluhur, dan alam dibaca supaya lahir karya-karya yang luhur. Melalui bacaan ilmu pengetahuan diperoleh dan seseorang menjadi bijak dalam tutur kata dan perbuatan.
Menuntut ilmu juga tidak dibatasi oleh tempat. Dalam sebuah hadis riwayat Ibnu Uda, Rasulullah memerintahkan untuk menuntut ilmu sampai ke negeri Cina. Ini merupakan indikasi nyata bahwa Islam sangat menghargai ilmu pengetahuan.
Ketika Rasulullah menganjurkan untuk belajar sampai ke negeri Cina tentu bukan harus belajar tafsir di sana, sebab bukan tempatnya. Begitu juga di Cina bukan tempat untuk belajar shalat ataupun menunaikan zakat. Cina pada zaman Nabi Muhammad SAW, 14 abad silam, adalah negara yang sudah maju dalam ilmu pengetahuan, teknologi, industri, dan perdagangan.
Sehingga, Rasulullah menyuruh umatnya untuk belajar teknologi, perdagangan, dan industri sekalipun kepada orang yang berbeda keyakinan. Begitu istimewanya orang yang menuntut ilmu sampai diperbolehkan oleh Rasulullah untuk iri kepada mereka. Tentu saja iri tatkala ilmunya bermanfaat bagi orang lain. Rasulullah bersabda, ''Tidak boleh hasud (iri) kepada orang lain kecuali kepada orang yang diberi kekayaan oleh Allah, kemudian ia menggunakannya untuk membela kebenaran dan kepada orang yang diberi ilmu tatkala ilmunya diamalkan dan diajarkan kepada orang lain.'' (HR Bukhari Muslim).
Oleh karenanya, kedudukan orang yang mencari ilmu sangat luhur sampai Allah menjanjikan posisi yang amat tinggi bagi mereka. ''... Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang yang berilmu beberapa derajat ...'' (QS Al-Mujadilah [58]: 11). Demikian pula usaha untuk mencari dan menggali ilmu diganjar oleh Allah dengan pahala seumpama orang yang sedang berjuang di jalan Allah. ''Siapa yang keluar rumah untuk menuntut ilmu maka ia berjuang fisabilillah hingga kembali ke rumahnya.'' (At-Tirmidzi).
Dan yang paling utama, dengan keluhuran ilmunya seseorang akan memperoleh kedudukan sebagai ahli waris para nabi. Bukan hanya Nabi Muhammad, namun ahli waris seluruh nabi semenjak Nabi Adam AS. ''Para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Yang mereka wariskan adalah ilmu. Seseorang yang mendapatkannya, sungguh ia telah mendapatkan bagian yang banyak.'' (HR Abu Dawud dan Tirmidzi). Maka, janganlah lelah menuntut ilmu, saudaraku(WASSALAM)

Rabu, 13 Februari 2008

HIKMAH

Asww.Selamat merenungkan
Dalam sebuah majelis, Rasulullah SAW pernah ditanya para sahabat. ''Ya Rasulullah, apa ciri-ciri pribadi Muslim?'' Rasulullah menjawab, ''Ciri-ciri Muslim itu, apabila dia melihat kamu, maka dia mendekat kepadamu, kemudian dia menyegerakan salam. Lalu kau lihat tampak
pada wajahnya selalu tersenyum. Lalu, dia akan lebih awal menjulurkan tangannya untuk bersalaman. Kalau kau dekat dengan dia, kau mencium wanginya. Kalau kau bicara dengan dia perhatikan baik-baik, pasti dia mengajakmu selamat dunia akhirat. Mau berbicara tentang apa saja, pada akhirnya mengajak kamu selamat di akhirat. Kalau berurusan dengannya, dia permudah. Itulah ciri-ciri pribadi Muslim.'' (Muttafaq 'Alaih).
Betapa sederhananya pribadi seorang Muslim yang digambarkan Rasulullah SAW di atas. Gambaran tadi kelihatannya sangat ringan, namun dalam praktiknya berat dilakukan. Intinya, seseorang baru bisa dikatakan Muslim kalau orang lain merasanya aman dari tangan, lisan, dan perbuatannya. Pribadi Muslim selalu dekat dengan Allah.
Orang kalau sudah mendekat kepada Allah, maka akan sayang dengan makhluk Allah. Orang kalau sudah sujud, dia berdoa dengan rasa takut, dengan berharap amat sangat, dampaknya dia akan senang berbuat kebaikan.
Seorang Muslim itu laksana cahaya. Kalau dia sudah bercahaya, pasti menerangi kanan-kirinya karena dia mengakses nur Allah. Seorang Muslim menerangi bukan hanya hatinya, tapi pikirannya, pendengarannya, tingkah lakunya, pakaiannya, rezekinya, rumahnya, kamarnya, tamannya. Di manapun dia berada membawa cahaya, dan cahaya itu tidak bisa dikalahkan dengan kegelapan.
Seorang pribadi Muslim meyakini adanya hari akhirat, dia menjadikan, dunia ini untuk akhiratnya. Hidupnya untuk Yang Mahahidup. Bukan hidup untuk hidup, yang pada akhirnya berlomba-lomba untuk menjadikan semuanya komoditas. Sehingga, mengejar popularitas, jabatan, dan kekayaan.
Seorang pribadi Muslim tahu, waktu yang diberikan Allah ini sempit untuk di dunia. Makanya seorang Muslim ingin membuat kenangan yang panjang. Wa ammaa bini'mati robbika fahaddits (Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya [dengan bersyukur). (QS Adh Dhuhaa [93]: 11
)

Selasa, 12 Februari 2008