Selasa, 22 April 2008

SIRAH NABAWIYAH

Studi Kritis terhadap Sejarah Nabi Muhammad saw
Ditulis pada Juli 24, 2007 oleh kajianislam

Studi Kritis terhadap Sejarah Nabi Muhammad saw

Jalaluddin Rakhmat

“As narrative is constructed, narrative constructs.”

Linda C. Garro & Cheryl Mattingly

Waktu itu masih era Orde Baru. Para cendekiawan Islam berkumpul di rumah Alwi Shihab. Saya menyampaikan makalah tentang perlunya ijtihad. Saya kutip riwayat dari tarikh Thabari berkenaan dengan kelakuan Khalid bin Walid yang membunuh Malik bin Nuwairah dan menikahi jandanya tanpa iddah. Apa yang dilakukan Khalid itu disebut oleh Abubakar ijtihad dan oleh Umar perzinahan. Salah seorang Kiyai yang hadir di situ bangkit dan marah-marah. Ia menuding saya berdusta. Saya yakinkan dia bahwa saya hanya sekedar mengutip Thabari. Katanya, Thabari itu Syi’ah; padahal kodok pun tahu bahwa Thabari itu Ahli Sunnah (kata kawan saya yang lain sambil bergurau).

Malam itu saya menyadari bahwa paling tidak ada dua versi atau pembacaan sejarah Islam, sesuai dengan mazhabnya. Pada pembacaan kawan saya, kisah sahabat nabi adalah kisah manusia-manusia suci. Mereka adalah umat pilihan yang dijamin masuk surga, generasi terbaik dalam sejarah Islam. Jadi, bila ia membaca riwayat yang menunjukkan perilaku buruk sahabat ia akan menisbahkannya pada pembuat kebohongan. Untuk saya, sahabat Nabi adalah generasi Islam pertama yang berbeda-beda dalam keimanan dan keilmuannya, sesuai dengan pangalaman mereka bersama Nabi saw. Ada sahabat yang menyertai nabi sejak lahir; dan ada sahabat yang bertemu dengan Nabi satu atau dua hari saja. Ada yang cerdas dan ada yang tidak. Ada yang benar memahami Nabi dan ada juga yang tidak.



Masih pada zaman Orde Baru, seorang Kiyai sepuh di Bangil dihujat ulama lainnya. Ia dimaki-maki di mimbar-mimbar jumat dan pengajian. Pasalnya, ia menerbitkan buku dengan judul Rasulullah saw Tidak Bermuka Masam. Kiyai itu menolak cerita umum tentang sahabat buta. Konon, Abdullah bin Ummi Maktum datang menemui Nabi untuk belajar Islam. Nabi sedang berada di tengah-tengah kaum aristokrat Quraisy. Nabi merasa terganggu oleh kehadiran si buta. Ia memalingkan wajahnya sambil bermuka masam. Allah langsung menegurnya: Ia bermuka masam dan berpaling; karena datang kepadanya orang buta (QS 80:1-2). “Ia di situ bukan Nabi saw,” kata Kiyai sepuh itu. Lalu, ia menuturkan kisah Nabi yang tidak pernah berpaling dari kaum miskin. Kalau begitu, siapa “ia” yang dimaksud dalam ayat itu? Tergantung versi cerita yang Anda pilih.

Cerita, kisah, atau dongeng secara ilmiah disebut naratif. Manusia adalah makhluk yang suka bercerita dan membangun hidupnya berdasarkan cerita yang dipercayainya. Kita menerima cerita dan menyampaikan cerita. Tanpa cerita, hidup kita carut marut. Dengan cerita, kita menyusun dan menghimpun pernik-pernik hidup kita yang berserakan. Naratif, kata filusuf Jerman Dilthey, adalah pengorganisasian hidup (Zusammenhang des Lebens). Hidup yang tersusun dalam naratif adalah bios, yang berbeda dengan sekedar hidup biologis saja, atau zoe. Hannah Arendt, pemikir besar abad kedua puluh berkata, “Karakteristik utama kehidupan khas manusia…ialah selalu penuh dengan peristiwa-peristiwa yang pada akhirnya bisa diungkapkan sebagai cerita… Kehidupan seperti inilah, bios, sebagaimana dibedakan dari zoe, yang dimaksud oleh Aristoteles sebagai ‘sejenis tindakan, praxis’’.

Apa pun yang membantu kita memberikan makna –pendapat, aliran pemikiran, mazhab, agama- selau didasarkan pada cerita-cerita besar, grand narratives. Kisah tentang kehidupan Nabi adalah salah satunya. Kita mendengarkan kisah-kisah Nabi dan mencritakannya kepada orang lain. Kita berusaha menjalani kehidupan dan menemui kematian nanti berdasarkan padanya. Begitu besarnya pengaruh naratif –lebih-lebih yang berkenaan dengan Nabi- pada pikiran, perasaan, dan perilaku kita, sehingga kita tidak segan-segan untuk “berperang” melawan siapa pun yang menyampaikan cerita yang tidak kita terima.

Sepanjang sejarah, kaum muslim tidak pernah berhenti untuk mengulang-ulang kisah Nabi. Berbagai karya –prosa dan puisi- telah ditulis tentang Nabi. Berbagai lagu, pertunjukan, acara, ritus dilakukan untuk membacakan kisah Nabi. Yang mengerikan ialah kenyataan bahwa para penguasa –demi kepentingan politiknya- selalu aktif menyebarkan kisah-kisah Nabi dengan kemasan yang dirancangnya. Dalam buku al-Mustafa: Pengantar Studi Kritis Tarikh Nabi saw, saya mengutip pernyataan Syaikh Muhammad Abduh, tokoh pembaharu Islam Abad XX:

“Tidak pernah Islam ditimpa musibah yang lebih besar dari apa yang diada-adakan oleh para pemeluknya dan oleh kebohongan-kebohongan yang dibuat oleh orang-orang ekstrim. Ini telah menimbulkan kerusakan dalam pikiran kaum Muslimin dan prasangka buruk dari non-Islam terhadap tonggak-tonggak agama ini. Dusta telah menyebar berkenaan dengan agama Muhammad sejak abad-abad yang pertama, sudah diketahui sejak zaman para sahabat, bahkan kebohongan sudah tersebar sejak zaman Nabi Saw…

Namun bencana kebohongan yang paling merata menimpa manusia terjadi pada masa pemerintahan Umawiyyah. Banyak sekali tukang-tukang cerita dan sangat sedikit orang-orang yang jujur. Karena itulah, sebagian sahabat yang mulia banyak yang menahan diri untuk tidak meriwayatkan hadis kecuali kepadaorang yang mereka percayai karena kuatir terjadi perubahan pada hadis yang mereka sampaikan… Imam Muslim meriwayatkan dalam mukadimah Shahih-nya ucapan Yahya bin Said al-Qaththan:”Aku tidak pernah melihat orang baik yang lebih pembohong dalam meriwayatkan hadis selain Bani Umayyah.”Lalu menyebarkah keburukan karena dusta.

Dalam perkembangan zaman berkembanglah dusta, makin lama makin berbahaya. Siapa saja yang menelaah mukadimah Imam Muslim, ia akan tahu betapa susah payahnya Muslim untuk menyeleksi hadis dalam penyusunan kitab Shahih-nya. Ia harus bekerja keras untuk menyingkirkan apa yang dimasukkan orang-orang ke dalam agama padahal tidak berasal daripadanya…Orang-orang yang masuk ke dalam Islam itu terbagi kepda beberapa golongan. Pertama, orang-orang yang meyakini agamanya, tunduk kepada ajarannya dan mengambil cahaya daripadanya. Mereka itulah orang-orang yang tulus. Kedua, kaum yang datang dari berbagai aliran mengambil nama Islam, baik karena ingin memperoleh keuntungan daripadanya atau karena takut akan kekuatan para pemeluknya, atau yang ingin memperoleh kemegahan dengan menisbatkan diri kepadanya. Mereka memakai Islam di luarnya, padahal Islam tidak masuk ke lubuk hatinya. Mereka itulah yang digambarkan Tuhan di dalam Al-Qur’an: Orang-orang Badwi itu berkata;”Kami telah beriman.”Katakanlah (kepada mereka):”Kamu belum berimanm tetapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu… (QS.Al-Hujurat [49]:14).

Ketiga, di antara mereka ada yang berlebih-lebihan dalam melakukan riya sampai orang banyak mengira bahw mereka termasuk orang-orang yang takwa. Jika orang-orang mulai percaya kepadanya, mulailah ia meriwayatkan kepada orang banyak hadis-hadis agamanya yang disandarkan kepada Nabi Saw atau sebagian sahabat. Dari sini muncullah semua berita Israilliyyat, dan komentar-komentar Taurat yang dimasukkan ke dalam kitab-kitab Islam sebagai hadis-hadis nabawi. Di antara mereka ada yang sengaja membuat hadis-hadis palsu yang jika diterima oleh orang-orang yang mempercayainya dapat merusak akhlak, mendorong orang untuk merendahkan syariat dan menimbulkan keputusasaan dalam membela kebenaran; seperti hadis-hadis yang menunjukkan berakhirnya Islam, atau mengharapkan ampunan Allah dengan berpaling dari syariat-Nya, atau berserah diri kepada takdir dengan meninggalkan akalnya. Semua itu dibuat oleh para pendusta untuk menghancurkan kaum Muslimin, memalingkan mereka dari pokok agama mereka , meluluh-lantakkan sistem dan kekuatan mereka

Di antara para pendusta itu ada orang-orang yang menambah-nambah hadis dan memperbanyak pembicaraan sekehendak mereka karena mengharapkan pahala, padahal sebetulnya hanya memperoleh siksa. Itulah orang-orang yang disebutkan oleh Muslim dalam Shahihnya, “Tidak aku lihat orang-orang saleh yang lebih pendusta dari mereka dalam meriwayatkan hadis.” Yang dimaksud dengan “orang-orang saleh” adalah mereka yang memanjangkan jubahnya, merundukkan kepalanya, merendahkan suaranya dan pergi ke masjid pagi dan petang, padahal mereka adalah orang-orang yang secara ruhaniah paling jauh dari masjid yang mereka datangi. Mereka menggerakkan bibir mereka dengan zikir, dan memutar-mutar tasbih di tangan mereka. Tetapi seperti kata Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as., “Mereka menjadikan agama sebagai penutup hati nurani dan pengunci akal pikiran. Mereka adalah orang-orang yang tertipu yang berbuat buruk tapi mengira bahw mereka berbuat baik… Musuh yang pintar lebih baik dari penggemar yang bodoh.”

Para penguasa politik menciptakan naratif Nabi yang sesuai dengan kepentingan politiknya. Para pendusta yang tampak saleh mencemari naratif Nabi dengan imajinasinya. Dongeng-dongeng mereka masuk ke dalam perbendaharaan hadis. Hadis adalah berita tentang perkataan, perbuatan, ketetapan, dan sifat-sifat –fisik dan mental- yang dinisbahkan kepada Nabi saw. Hadis adalah bahan utama tarikh Nabi. Bila sebagian sumber hadis adalah rekaan para penguasa dan para pendusta, apa yang terjadi pada tarikh Nabi? Kita menemukan naratif Nabi yang tidak menggambarkan kesucian, kemuliaan, dan keagungan Nabi. Bayangkan biografi Anda ditulis oleh musuh-musuh Anda atau para pendusta yang membonceng pada kemuliaan Anda? Kisah-kisah Nabi seperti itu bertebaran pada kitab-kitab hadis dan tarikh. Kaum muslim menerimanya tanpa kritis. Kaum munafik membacanya dengan senang. Peneliti non-Muslim berusaha memahaminya dengan latar belakang kebudayaannya.

Dalam hubungan inilah, Karen Armstrong menulis Muhammad: Prophet for Our Time. Ia punya reputasi baik sebagai pengamat Islam yang sangat simpatik kepada Islam. Dalam banyak tulisannya, ia berusaha keras menunjukkan kesalah-pahaman Barat kepada Islam. Inilah komentar penerbit untuk bukunya yang pertama, Muhammad: A Biography of the Prophet: This vivid and detailed biography strips away centuries of distortion and myth and presents a balanced view of the man whose religion continues to dramatically affect the course of history. Biografi yang hidup dan terperinci ini menghapuskan distorsi dan mitos yang sudah berlangsung berabad-abad dan menyampaikan pandangan seimbang tentang manusia yang agamanya terus-menerus secara dramatis mempengaruhi jalannya sejarah. Dalam buku yang Anda baca sekarang ini, Armstrong juga ingin menampilkan Muhammad sebagai sosok paradigmatik yang datang pada “dunia yang penuh cacat”. “Perjalanan hidupnya”, tulis orang yang mengaku “freelance monotheist” ini, “menyingkapkan kerja Tuhan yang misterius di dunia, dan mengilustrasikan ketundukan sempurna…yang harus dilakukan setiap manusia kepada yang ilahi.”

Walaupun begitu, sebagai penyampai naratif besar, Armstrong yang mantan biarawati ini tidak bisa melepaskan dirinya dari latar belakang kebudayaannya. Sebagai orang yang pernah mengambil doktor dalam kesusatraan Inggris, ia tentu sangat sadar dalam memilih diksi dan kalimat naratifnya, dalam menjalin plot dan tema ceritanya. Semuanya dirancang untuk menarik para pembaca sasarannya, orang-orang Barat. Tengoklah bagaimana ia menceritakan perkawinan Muhammad dengan Ummu Salamah. Mula-mula Ummu Salamah enggan menikah dengan Nabi karena sangat mencintai suaminya yang baru saja syahid. Tetapi ketika Muhammad tersenyum dengan “senyuman yang sangat memikat, yang membuat hampir setiap orang luluh” (hal 210), Ummu Salamah menerima lamarannya. Begitu pula kisah perkawinan Nabi dengan Zainab. Seperti penulis-penulis Barat lainnya, Karen Armstrong menuturkannya seperti kisah percintaan Daud dengan istri Uria dalam Alkitab. Gaya penuturan seperti itu rada sulit dilakukan oleh penulis tarikh yang Muslim.

Pada kisah Ummu Salamah, ia menceritakan kembali apa yang dibacanya dalam buku-buku tarikh orang Islam dengan “bumbu-bumbu penyedap” sekedarnya. Pada kisah Zainab, ia mengutip –malangnya- kisah-kisah dalam hadis-hadis dan kitab-kitab tarikh tanpa sikap kritis. Dalam buku ini, ada banyak kisah seperti kisah Zainab; yakni, naratif Nabi yang tidak menggambarkan kesucian, kemuliaan, dan keagungan Nabi. Kita tidak bisa sepenuhnya menimpakan kesalahan kepada Armstrong. Ia toh hanya mengutip dari sumber-sumber rujukan yang dipercaya oleh orang-orang Islam juga. Kesalahan –mungkin lebih tepat- kelemahan utama Armstrong ialah mengutip dari buku-buku tarikh dalam terjemahan bahasa Inggrisnya. Itu pun terbatas pada sumber-sumber Ahli Sunnah, yang diterimanya tanpa kritik.

Tidak mungkin saya membahas semua kisah itu dalam pengantar ini. Saya memilih dua naratif besar saja: kisah turunnya wahyu pertama dan kisah ayat-ayat setan (gharaniq). Pada kisah wahyu pertama, siapa pun yang mencintai Nabi akan “tersinggung” dengan penuturan berikut ini:

Ketika Muhammad tersadar, dia begitu masygul memikirkan bahwa, setelah semua upaya spiritualnya, dia ternyata dirasuki oleh jinni sehingga dia tak lagi ingin hidup. Dalam keputusasaannya, dia lari dari gua dan mulai mendaki ke puncak gunung untuk melontarkan dirinya hingga mati.(hal 60)

Tapi kisah Nabi yang meragukan kenabiannya, dicekik sampai kehabisan nafas, lari tunggang langgang, diyakinkan oleh isterinya dan para pendeta Kristen adalah naratif yang banyak kita baca dalam sumber-sumber kitab tarikh kita. Saya akan menampilkan naratif lain, sambil masih merujuk pada sumber-sumber yang sama, dengan tambahan kritik.

Kisah ayat-ayat setan juga tidak bisa dilewatkan. Pertama, karena kita sudah memaki Salman Rushdie sampai ke tulang sumsumnya sambil melupakan untuk mengkaji secara kritis sumber-sumber rujukannya. Kedua, karena menerima penuturan Armstrong –sekalipun merujuk sumber-sumber Islam- tentang ayat-ayat setan sekali lagi dapat melucuti kemuliaan dan kesucian Nabi saw. Siapa pun yang mencintai Nabi yang suci dapat berguncang hatinya karena penuturan berikut ini:

Ketika Muhammad membacakan ayat-ayat yang diragukan nafsunyalah yang berbicara –bukan Allah- dan dukungan terhadap dewa-dewi ini terbukti merupakan sebuah kekeliruan. Seperti semua orang Arab lain, dia secara alamiah menisbahkan kesalahannya kepada shaytan. (hal 93).

Karena itu sebelum mengadakan demonstrasi mengutuk Armstrong, sebaiknya kita mengkaji kedua kisah tadi. Kita mulai dengan kisah wahyu pertama. Riwayat Wahyu Pertama.

Riwayat yang sering kita dengar tentang Rasulullah ketika menerima wahyu pertama berasal dari Shahih al-Bukhari, hadis nomor 3.

“ Dari Aisyah, Ummul Mukninin ra, katanya;”Wahyu yang mula-mula turun kepada Rasulullah Saw ialah berupa mimpi baik waktu beliau tidur, Biasanya mimpi itu terlihat jelas oleh beliau, seperti jelasnya cuaca pagi. Semenjak itu hati beliau tertarik hendak mengasingkan diri ke Gua Hira. Di situ beliau beribadat beberapa malam, tidak pulang ke rumah istrinya. Untuk itu beliau membawa perbekalan secukupnya. Setelah perbekalan habis, beliau kembali kepada Khadijah, untuk mengambil lagi perbekalan secukupnya. Kemudian beliau kembali ke Gua Hira, hingga suatu ketika datang kepadanya Al-Haq (kebenaran atau wahyu), yaitu sewaktu beliau masih berada di Gua Hira itu.

Malaikat datang kepadanya, lalu katanya, “Bacalah!”

Jawab Nabi,”Aku tidak pandai membaca.”

Kata Nabi selanjutnya menceritakan,”Aku ditarik dan dipeluknya sehingga aku kepayahan. Kemudian aku dilepaskannya dan disuruhnya pula membaca.

“Bacalah!”katanya.

Jawabku, “Aku tidak pandai membaca.”

Aku ditarik dan dipeluknya pula sampai aku kepayahan. Kemudian aku dilepaskannya dan disuruhnya pula membaca,”Bacalah!”

Kujawab,”Aku tidak pandai membaca.”

Aku ditarik dan dipeluknya untuk ketiga kalinya, kemudian dilepaskannya seraya berkata:

“Iqra’bismi rabbikalladzi khalaq.Khalaqal Insana min ‘alaq

Iqra! Wa rabbukal akram

(Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menjadikan. Yang menjadikan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Demi Tuhanmu yang Mulia.)

Setelah itu Nabi pulang ke rumah Khadijah binti Khuwailid, lalu berkata,”Selimuti aku! Selimuti aku!”

Lantas diselimuti oleh Khadijah, hingga hilang rasa takutnya.

Kata Nabi Saw kepada Khadijah (Setelah dikabarkannya semua kejadian yang dari dialaminya itu). “Sesungguhnya aku cemas atas diriku (akan binasa).”
Kata Khadijah,”Jangan takut! Demi Allah! Tuhan sekali-kali tidak akan membinasakan Anda. Anda selalu menghubungkan tali persaudaraan, membantu orang yang sengsara, mengusahakan (mengadakan) barang keperluan yang belum ada, memuliakan tamu, menolong orang yang kesusahan karena menegakkan kebenaran.”

Setelah itu Khadijah pergi bersama Nabi menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza, yaitu anak paman Khadijah, yang telah memeluk gama Nasrani (Kristen) pada masa jahiliyyah itu. Ia pandai menulis buku dalam bahasa Ibrani. Maka disalinnya Kitab Injil dari bahasa Ibrani seberapa dikehendaki Allah dapat disalinnya. Usianya telah lanjut dan matanya telah buta.

Kata Khadijah kepada Waraqah,”Hai, anak pamanku! Dengarkanlah kabar dari anak saudara Anda (Muhammad) ini.”

Kata Waraqah kepada Nabi, “Wahai anak saudaraku!Apakah yang telah terjadi atas diri Anda?”

Lalu Rasulullah Saw menceritakan kepadanya semua peristiwa yang telah dialaminya.

Berkata Waraqah, “Inilah Namus(Malaikat) yang pernas diutus Allah kepada Nabi Musa. Wahai, semoga saya masih hidup ketika itu, yaitu ketika Anda diusir oleh kaum Anda.”

Maka bertanya Rasulullah Saw,”Apakah mereka akan mengusirku?”

Jawab Waraqah,”Ya, betul! Belum pernah seorang jua pun yang diberi wahyu seperti Anda, yang tidak dimusuhi orang. Apabila saya masih mendapati hari itu, niscaya saya akan menolong Anda sekuat-kuatnya.”

Tidak berapa lama kemudian, Waraqah meninggal dunia dan wahyu pun terputus untuk sementara waktu,”

Hadis ini, dengan beberapa hadis semakna, diriwayatkan oleh Muslim dan kitab-kitab tarikh seperi Tarikh Thabari, Tarikh al-Khamis, Al-Sirah al Nabawiyyah, al-Sirah al-Halabiyayah. Ada beberapa kemusykilan pada riwayat ini, baik dari segi sanad maupun matan.

Pada sanad riwayat itu disebutkan Al-Zuhri, Urwah bin Zubayr, dari Aisyah. Al-Zuhri adalah ulama penguasa yang berkhidmat pada Hisyam bin Abd al-Malik. Ia mengajar anak-anak Hisyam. Ia terkenal sangat membenci Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Pernah ia duduk berdua dengan Urwah di Masjid Madinah dan memaki-maki Ali. Sampailah berita itu kepada Imam al-Sajad. Ia datang menegurnya sambil berkata,”Hai Urwah, ayahku pernah bersengketa dengan ayahmu; ayahku benar dan ayahmu salah. Adapun engkau, hai Zuhri, sekiranya engkau berada di Makkah, akan kutunjukkan gubuk bapakmu.”Kisah Ayat-ayat Setan

Nanti Anda akan membaca kisah ayat-ayat setan versi Armstrong pada hal 92-96 buku ini. Tentu saja ia tidak menerjemahkannya secara harfiah. Ia memasukkan juga gaya penuturannya sendiri, lepas dari naratif awalnya. Di bawah ini saya kutipkan terjemahan saya:

Dari Ibn Jubayr al-Thabari dengan sanad yang dianggapnya sahih, dari Muhammad bin Ka’ab, Muhammad bin Qays, Sa’id bin Jubayr, Ibn ‘Abbas dan lain-lainnya: Nabi saw sedang duduk bersama orang musyrik Quraisy di halaman Ka.bah, di tengah-tengah kumpulan mereka. Terbersit dalam hatinya sekiranya ada sesuatu dari Al-Quran yang dapat mendekatkan dirinya dengan para pemuka kaumnya. Ia merasa prihatin karena dijauhi mereka. Ia berharap berbaikan dengan mereka lagi betapa pun beratnya. Tiba-tiba turun kepadanya surat Al-Najm. Maka ia pun membacanya. Ketika sampai pada ayat: Tidakkah kamu Al-Lata, al-‘Uzza, dan Manat yang ketiga yang lainnya (QS 53:19-20, Setan membisikkan kepadanya: Itulah burung-burung Gharaniq yang mulia. Sesungguhnya syafaatnya benar-benar diharapkan. Ia mengiranya wahyu. Ia membacanya di hadapan tetua Quraisy. Kemudian ia meneruskan bacaannya sampai selesai surat. Setelah selesai, ia bersujud. Bersujudlah kaum muslim. Bersujud juga kaum musyrik untuk menghormati persetujuan Muhammad untuk memuliakan Tuhan-tuhan mereka dan mengharapkan syafaatnya.

Menyebarlah berita itu sehingga sampai kepada kaum muslim yang hijrah ke Habsyi. Mereka pun kembali ke negeri mereka Makkah, berbahagia dengan perdamaian yang mendadak ini. Nabi juga bergembira karena tercapai cita-citanya untuk mendamaikan umatnya. Diriwayatkan bahwa setan putihlah yang datang kepada Nabi dalam bentuk malaikat Jibril dan menyampaikan dua kalimat tadi. Diriwayatkan juga bahwa Nabi saw sedang salat di Maqam Ibrahin. Tiba-tiba ia diserang kantuk. Keluarlah dari lidahnya dua kalimat tadi tanpa terasa. Diriwayatkan pula bahwa Nabi saw berbicara dari dalam hatinya sendiri, karena keinginannya untuk merebut hati kaum musyrik. Setelah itu, ia menyesali perbuatannya karena berdusta atas nama Allah. Diriwayatkan lagi bahwa setanlah yang memaksa Nabi untuk mengucapkan dua kalimat itu.

Ketika malam tiba, Jibril datang kepadanya. Ia berkata: Bacakan kepadaku surat itu. Nabi saw membacanya dan ketika sampai pada dua kalimat itu, Jibrail berkata: Wah darimana dua kalimat itu. Rasulullah saw menyesal. Jibril berkata: Engkau berdusta kepada Allah. Engkau mengucapkan atas nama Allah apa yang tidak Dia ucapkan? Nabi bersedih luar biasa. Ia takut kepada Allah dengan ketakutan yang bukan main.

Diriwayatkan Nabi saw membantah Jibril: Ada orang yang datang padaku dalam bentukmu dan memasukkannya pada lidahku. Jibril berkata: Aku mohon perlindungan kepada Allah aku akan mengucapkan dua kalimat itu. Rasulullah saw merasa sangat galau. Lalu turunlah ayat:Tujuan mereka ialah memalingkan kamu dari apa yang telah Kami turunkan kepadamu agar kamu menggantikan atas namaKu dengan sesuatu yang lain. Dengan begitu mereka dapat mengambilmu sebagai sahabat. Sekiranya tidak Kami teguhkan kamu, pastilah kamu akan cenderungkepada mereka sedikit. Jika begitu, Kami akan menimpakan kepadamu dua kali hukuman, hukuman pada waktu hidup dan hukuman pada waktu mati. Kemudian kamu tidak akan mendaptkan penolong bagimu untuk melawan Kami (QS 17:73-75).

Dengan menggunakan ilmu-ilmu hadis, kita yakin bahwa riwayat di atas memang dibuat-buat (mawdhu’, mukhtalaq). Pertama, sanad hadis ini terputus sampai kepada tabi’in, pengikut sahabat. Artinya, silsilah hadis ini tidak sampai kepada sahabat yang menyaksikan kejadian itu. Ada juga yang menunjuk kepada Ibnu ‘Abbas. Ibnu Abbas lahir tiga tahun sebelum hijrah, sedangkan peristiwa ini terjadi pada awal-awal kenabian. Dengan demikian, hadis ini disebut mursal dan tidak boleh dipercayai. Anehnya, Ibnu Hajar mengecam orang yang tidak mau menerima riwayat ini. Ia berargumentasi walau hadis ini lemah, karena diriwayatkan banyak orang ia dapat dijadikan petunjuk! Dalam tempat lain, ia sendiri berkata: Semua jalan (thuruq) hadis ini –kecuali yang lewat Ibn Zubayr- dha’if atau munqathi’.

Ahmad bin al-Husayn al-Baihaqi, salah seorang ulama besar Syafi’i berkata: Hadis ini dari segi penyampaian tidak kokoh (benar) dan para periwayatnya tercela. Abu Bakar ibn Arabi berkata: Semua yang diriwayatkan Thabari berkenaan dengan riwayat itu batal tidak ada asal-usulnya. Al-Fakhr al-Razi dalam tafsirnnya memberikan komentar: Inilah riwayat yang popular di kalangan mufasir. Tetapi para peneliti yakin bahwa hadis ini bathilah mawdhu’ah (batil dan dibuat-buat). Mereka menentangnya baik secara aqli maupun naqli.