Sabtu, 28 Juni 2008

Sontoloyo


Sontoloyo




Sontoloyo! (dalam dialek bahasa Jawa Timur, artinya tidak bermutu). Begitulah ungkapan kemarahan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar kepada menteri yang berasal dari partai politik (parpol).

Pasalnya, dalam rapat kabinet para menteri, termasuk menteri dari parpol menyetujui kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar 28,7 persen yang telah diputuskan pemerintah pada 23 Mei lalu. Namun di DPR, fraksi partainya ternyata berbeda kebijakannya.

Pernyataan itu terkait sidang paripurna di DPR Selasa (24/6) lalu yang menyetujui penggunaan hak angket soal kenaikan harga BBM. "Itu kan gak benar. Kalau dia rapat kabinet sudah putus, kok di luar ngomongnya lain. Sontoloyo," katanya, Kamis (26/6) lalu. Syamsir pun mengungkapkan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah mengetahui menteri yang dimaksud.

Bukan itu saja, Syamsir juga menuding demonstrasi anti kenaikan BBM di depan Gedung DPR/MPR, Selasa (24/6) lalu yang berlangsung rusuh juga didanai oleh seorang anggota parpol di DPR. Namun, lagi-lagi Syamsir menolak menyebutkan nama dan oknum parpol yang membiayai demo rusuh tersebut.

Pernyataan Kepala BIN itu tentu saja membuat gusar sejumlah parpol. Khususnya yang memiliki wakil di kabinet. Sebab koalisi yang dibangun Presiden SBY terdiri dari sejumlah parpol yang mendukung pemerintahannya.

Seperti diketahui, PKS memiliki tiga kader yang duduk di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). PPP, PAN, dan PKB, masing-masing diwakili dua menteri. Sementara PKPI seorang menteri. Selain itu masih ada Partai Golkar yang langsung dipimpin Ketua Umumnya Jusuf Kalla selaku wakil presiden. Juga ada tiga menteri dari partai beringin ini.

Siapa sesungguhnya menteri dan parpol yang dituding Syamsir Siregar? Sampai saat ini belum jelas. Namun persoalan mendasar sesungguhnya terletak pada masalah koalisi yang dibangun SBY sejak awal.

Koalisi itu sesungguhnya merupakan koalisi pragmatis dan berdasarkan kepentingan sesaat. Bahkan ada pula yang menyebutnya sebagai koalisi seimbang sebagai mitra yang bisa saling mengoreksi.

Salah satu bentuk koreksi itu, antara lain diwujudkan melalui sikap partai yang menyetujui penggunaan hak angket DPR soal kenaikan harga BBM. Sejumlah partai menilai kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM berdampak negatif terhadap masyarakat.

Maka melalui wakilnya di DPR, partai merasa perlu melakukan koreksi dalam bentuk menyetujui hak angket DPR. Melalui hak angket ini, DPR bisa menggali keterangan para ahli dan semua pihak terkait dengan produksi, distribusi, dan konsumsi BBM.

Kita tentu tidak ingin membahas siapa yang sontoloyo. Tapi yang lebih penting, jangan sampai forum hak angket nantinya sekadar dijadikan apologi pemerintah. Kita juga tidak mau hak itu hanya dijadikan ajang anggota DPR untuk mempermalukan pemerintah. Apalagi upaya pemakzulan terhadap presiden.

Hak angket BBM harus digunakan secara transparan, dan jangan ada yang ditutup-tutupi. Hak ini harus memberikan konklusi yang lebih objektif dan menghasilkan solusi yang cerdas dan bernas. Bukan solusi yang sontoloyo